Kamis, 19 Maret 2009

Pendidikan LN atau DN?

Beberapa waktu yang lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berita tentang mahasiswa Indonesia, David Hartanto Widjaja (21) mahasiswa Nanyang Technology University, yang tewas terjatuh dari lantai 4 gedung universitasnya. Dalam berbagai forum yang saya baca di internet (baik di surat kabar, blogging, dll) masyarakat Indonesia banyak yang menyayangkan kejadian itu dan menuntut penyelesaian kasus tersebut sampai tuntas. Selama beberapa saat banyak spekulasi yang berkembang mengenai peristiwa menggemparkan itu. Pada akhirnya topik berkembang pada perbincangan mengenai perbandingan pendidikan di luar negeri dan di dalam negeri.

Pendidikan, mulai dari TK sampai S1, saya tempuh di Indonesia. Saya bangga akan pendidikan yang telah saya tempuh dan bisa membentuk saya sampai saat ini. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa saya tidaklah pandai benar dalam semua pelajaran yang telah saya tempuh. Saya merasa pendidikan di Indonesia tidak kalah dengan pendidikan luar negeri. Buktinya, banyak anak Indonesia yang bisa memenangkan berbagai penghargaan di taraf international (bukan hanya dalam lomba Olimpiade Sains saja, namun juga penghargaan-penghargaan yang lain. Memang hal itu juga didukung oleh kualitas kecerdasan siswa-siswa yang menjadi juara. Namun yang tidak boleh dilupakan adalah pendidikan selalu mencakup dua pihak: pihak pendonor dan resipien ilmu. Jadi, bukan hanya karena sang siswa saja.
Saya tidak bisa membandingkan mengenai pola atau sistem pendidikan di luar negeri, yang nota bene berbeda-beda di tiap negara, karena saya belum pernah mendapatkan pendidikan di luar negeri. Namun, suatu ketika saya pernah mendapatkan kesempatan untuk menjadi vissitting student di salah satu Universitas di Jepang. Pertama kali berdiskusi dengan teman-teman mahasiswa di laboratorium saya merasa berkecil hati karena ilmu mereka jauh lebih hebat [menurut saya] dari pada saya. Banyak pengetahuan-pengetahuan baru yang saya peroleh. Mereka begitu mendalami apa yang mereka pelajari. Namun ternyata pada akhirnya saya bisa agak berbesar hati karena pengetahuan umum saya lebih luas. Banyak sekali hal-hal umum yang sepertinya luput dari perhatian, atau memang teman-teman mahasiswa tersebut tidak mengetahuinya. Hal yang dapat saya simpulkan [sementara] adalah bahwa orang-orang di Jepang [karena yang saya tahu hanya itu] sudah fokus ke bidang yang digelutinya semenjak masuk pertama kali di bangku kuliah. Mereka mempelajari setiap detail dari pengetahuan mengenai bidang yang ditekuni, dan mungkin itulah yang membuat mereka seolah-olah melupakan dunia di luar bidangnya. Hampir di seluruh Universitas di Jepang, rata-rata setiap mahasiswa S1 dibimbing oleh S2, S2 dibimbing S3, S3 oleh Postdoc. Bimbingan di sini adalah seperti saat kita membuat kelompok belajar dengan mentor seorang guru les. Mentor menjadi tempat bertanya dan berdiskusi. Jadi, belum tentu S2 atau S3 tersebut adalah dosennya. Hal ini berbeda jauh dengan apa yang saya alami ketika kuliah. Saya baru "masuk" ke lab setelah saya mengerjakan penelitian untuk seminar saya. Di sana tidak ada 'siapa-siapa' selain teman-teman S1 yang lain, laboran dan dosen. Jadi setiap kali ada masalah penelitian harus mencari dosen terlebih dahulu. Padahal dosen tidak selalu ada di tempat [pastilah sebelumnya sudah didiskusikan ke orang lain-teman atau kakak angkatan].

Banyak orang berkata bahwa pendidikan bukan hanya dari sekolah saja. Ya, menurut saya pendidikan selalu berlangsung di sekitar seseorang, entah itu di rumah/keluarga, di tempat dia bermain, dll. Oleh karena itu saya percaya bahwa lingkungan di sekitar kita adalah secondary womb, rahim kedua. Dalam rahim kedua inilah kita akan dilahirkan menjadi manusia yang lebih dewasa. Dalam rahim kedua ini watak, karakter, pribadi kita dibentuk. Jadi saya kurang setuju apabila banyak orang mempermasalahkan pemerintah karena adanya 'ketidaksuksesan' pendidikan. Walaupun, memang pendidikan di Indonesia masih banyak kekurangannya. Kenapa kita tidak mencoba membuat 'rahim' yang baik bagi kita sendiri, orang lain dan terutama anak cucu kita. Orang tua idak menuntut anaknya menjadi apa yang dicita-citakan, guru-guru tidak main kasar dengan anak didiknya, Pak RT dan para tetangga menjaga lingkungan yang kondusif bagi pelajar-pelajar di lingkungannya, dll.

NB:
Bagi yang sudah mengenyam pendidikan di luar negeri, jangan lupa pulang untuk membangun negara kita bersama-sama. Kalaupun tidak pulang, jangan lupa untuk memberikan sumbanganmu bagi bangsa dan negara ini: secondary womb... Indonesia tanah air beta...