Selasa, 09 November 2010

Komunikasi Beresiko (Risk Communication)


Sering melalui twitter, saya ngoceh tentang para pejabat selain ikut training komunikasi massa harus ikut pula training komunikasi beresiko. Kebetulan beberapa minggu yang lalu saya diberi kesempatan untuk mengikuti training tersebut, walau dengan topik yang berbeda. Jadi dalam tulisan kali ini, saya ingin berbagi pengalaman mengenai training tersebut. Semoga berkenan...


Tujuan dari berkomunikasi, pada dasarnya adalah untuk transfer informasi, berbagi berita. Komunikasi beresiko (Komris) adalah komunikasi yang terjadi pada saat keadaan: krisis, kontroversial, banyak perhatian, tingkat stress tinggi dan kepercayaan rendah. Strategi yang sudah dikembangkan selama 25 tahun ini, awal mulanya dari dunia kedokteran, saat dokter harus menyampaikan berita tidak mengenakkan kepada pasien mereka yang sudah sakit, stress, bingung bayar obat (kalau ini mungkin khusus di Indonesia) dan masih harus menerima berita buruk. D'uh, malang nian nasibmu Pa'sien. Jadi bisa dibilang, "Risk Communication is the science of communicating effectively in high concern situations."




melihat kartun ini, jadi teringat kata-kata khas keluarga saya, "diguyu pitik" (diketawain ayam). Ya! Ternyata mereka juga bisa berkomunikasi [hehehe].


Komris akan membantu kita dalam menyampaikan pesan secara meyakinkan, positif, mudah dicerna dan dipercaya, jelas dan ringkas. Jadi sebelumnya berkomunikasi kita harus mengetahui apa ketakutan para audiens kita, apa persepsi terburuk audiens. Dan jangan lupa bahwa "Their perception is Your reality".


Secara ringkas, ada 4 teori yg paling penting dalam melakukan strategi Komris, yakni :


Trust Determination
  1. Empati dan perhatian : People need to know that you care before they care about what you know. Sampaikan rasa empati kita secara verbal dan non verbal. Melalui kata-kata dan bahasa tubuh.
  2. Dedikasi dan komitmen : Mulutmu adalah harimaumu. Jangan hanya menyampaikan janji kosong.
  3. Kejujuran dan keterbukaan: ada yang bilang kenyataan itu memang pahit. Namun bagaimana kita dapat berkata jujur tanpa harus menyakiti orang lain juga perlu dipelajari.
  4. Kompetensi: hal ini kadang berkaitan dengan umur dan gender. Biasanya orang akan lebih percaya pada pembicara yang berumur tepat (tergantung konteks pembicaraan, namun ada anggapan bahwa orang berumur dianggap lebih berpengalaman).
Ingat, bahwa bahasa non verbal itu bisa membantu dalam menyampaikan 50-75% pesan serta memberi kesan. Kompetensi bisa dibangun dengan menunjukkan referensi yang didapatkan dari pihak ketiga. Jadi bisa memberi kesan bahwa yang kita sampaikan ada bukti pendukung, bukan hanya karangan atau subjektivitas kita sendiri. 

Risk Perception
  1. kepercayaan: Bagaimana audiens bisa mempercayai apa yg kita omongkan
  2. kontrol: audiens harus merasa bahwa dia berada dalam keadan tenang, terkontol/terawasi.
  3. keuntungan: sampaikan keuntungan apa yang bisa didapatkan dari situasi krisis yang terjadi. Tapi jangan terdengar seperti memaksakan.
  4. keadilan

Mental Noise
Orang yang sedang kecewa, marah atau sedih hanya dapat menangkap sedikit pesan dan hanya memberi sedikit perhatian. Mereka hanya mampu menangkap sedikit pesan, bahkan kemungkinan 80% dari pesan kita akan hilang, tak tertangkap karena emosi mereka. Oleh karena itu pesan harus disampaikan secara jelas dan ringkas. Tips mengenai teori ini adalah:
  1. batasi jumlah pesan: maksimal tiga pesan
  2. ulangi pesan dua kali. Ulangi pertanyaan yang disampaikan, langsung jawab pertanyaan, beri referensi, penutupan ulangi jawaban.
  3. gunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh orang awam, hindari kata-kata teknis. Kasarnya, gunakan kata-kata anak berumur 12 tahun untuk audiens 18 tahun ke atas. Untuk audiens anak 12 tahun gunakan bahasa anak umur 8 tahun. Gunakan kalimat pendek. Perhatikan kalimat pasif-aktif. 
Negative Dominance
Apa yang terjadi saat kita berbincang dengan orang yg membuat kita merasa marah, kecewa, dll. Emosi, ga sabar dan yang pasti informasi yang negatif lebih mudah masuk dan diingat dari pada yang positif. Pokoknya inginnya kita yang selalu benar. Iya ga? Ngaku deh...
Ada teori yang mengatakan bahwa untuk menghilangan satu persepsi negatif, kita harus memberikan tiga persepsi positif. Jadi untuk memberikan persepsi positif terhadap artikel negatif, kita perlu 4 respon positif. Nah, lo! Tips dari teori ini adalah
  1. Jangan mengulangi kalimat negatif dari suatu pernyataan atau dugaan (allegation)
  2. hindari menggunakan kata-kata negatif: tidak, bukan; dalam bahasa inggris: ni, not (can't, don't), never, nothing, none; dll.
Kita bisa mengambil banyak contoh wawancara di televisi. Ambil contoh yang baru-baru terjadi sekarang ini saja. Tahu kan Pak Surono? Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian ESDM ini setiap kali diwawancara pasti menjawab dengan tenang, lugas dan informatif tak lupa terkadang beliau terlihat menghela napas, mengungkapkan keprihatinannya akan bencana ini. Dalam suatu sesi wawancara, Pak Surono mengatakan hal yang [saya rasa] sangat baik, yakni "Merapi tidak pernah ingkar janji." Merapi hanya sedang memberikan berkah kesuburan dan material untuk kehidupan masyarakat Jogja. Duh, sangat menentramkan. Ada unsur benefit (keuntungan) yang diusung dalam Komunikasi Beresiko Pak Surono. Selain karena jabatan, pembawaannya tiap kali wawancara membuat kita lebih percaya dengan apa yang diinformasikannya dari pada berita-berita tidak jelas yang bersliweran di televisi.


Pengungsi anak. Apa yang dipikirkan Pak MA dan AM kalau anak atau cucu mereka adalah salah satu dari pengungsi kecil ini. Tidak ada susu, mainan atau pakaian pantas karena pakaian mereka sudah bau ompol.


Kemudian ambil contoh yang lain, misalkan Pak Marzuki Ali mengenai bencana di Mentawai, menyatakan bahwa ya sudah resiko terkena tsunami apabila tinggal di pulau kecil. Sebenarnya apa yang dikatakan adalah benar adanya. Jangakan di pulau kecil, di pulau agak sedang (jawa) dan besar (sumatra) juga tersapu tsunami. Namun yang salah adalah cara beliau mengatakan hal itu. Kalimat yang lebih mengungkapkan nada empati dan mengajak rakyat Indonesia untuk selalu waspada akan bencana alam, mungkin akan lebih bisa diterima. 


Atau yang baru-baru ini, Pak Kumis Andi Malarangeng, yang bilang para pengungsi tinggal nunggu bel klentheng-klentheng untuk makan tanpa aktivitas yang berarti. Mungkin kalimat yang Pak Andi maksud adalah bahwa dengan berdiam diri, para pengungsi jadi kepikiran terus akan hal-hal buruk yang terjadi, nah untuk membangkitkan semangat dan menghibur para pengungsi maka Pak Andi mengirim seperangkat mainan ular tangga. [Walaupun sebenarnya para pengungsi ini juga ikut bantu-bantu di dapur umum dan kadang malah jadi relawan!] 


See the poin? EMPATI... sepertinya itulah yang hilang dari komunikasi di negara kita.
Jadi inget kata-kata yang sempat ngetren jaman dulu, "Ah, Teori!!!"




Bahan-bahan mengenai 3 Teori Komunikasi Beresiko diambil dari bahan training Risk Communication in Controversial or High Stress Situations yang disampaikan oleh Dr. Andrew D. Powell dan Dr. Andy Roberts dari Asia Biobusiness Singapore (www.asiabiobusiness.com)





Tidak ada komentar: